816Agent
816WIN

Sabtu, 25 Januari 2020

'Cina Benteng' Tangerang dalam Alur Sejarah Nusantara

'Cina Benteng' Tangerang dalam Alur Sejarah Nusantara

Kejayaan bahari Nusantara menjadi daya tarik bangsa China untuk datang. Tidak hanya pulau-pulau dengan hasil bumi yang kaya, Tangerang, sebagai bagian teluk Batavia saat itu juga tidak luput dari kehadiran etnis Tionghoa.
Melalui jalur laut, sekitar abad ke-15, kapal dagang China juga menepi di Teluknaga, Tangerang dan terus menyebar hingga ke pinggiran wilayah Serpong mengikuti jalur Sungai Cisadane.
Seiring berjalannya waktu, proses asimilasi terjadi dan melahirkan komunitas peranakan China khas Tangerang, yang lebih dikenal dengan sebutan China Benteng (Ciben).
Sekelumit cerita itu, mengawali perbincangan merdeka.com saat bertemu dengan tokoh sepuh Pecinan Benteng, Tjin Eng (74) di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang.
Dia kemudian mengisahkan, sebutan Benteng, yang disematkan pada warga peranakan di Tangerang, memiliki nilai historis panjang.
Singkat cerita kala itu, penamaan Benteng (fort), yang dibangun sekira abad ke-16 oleh Pemerintahan Belanda yang dikenal masyarakat pribumi dengan sebutan Benteng Makasar. Merupakan pembatas wilayah kesultanan Banten dengan VOC yang beririsan dengan aliran Sungai Cisadane.
"Pada sisi barat sungai itu wilayah kekuasaan Banten dan sebelah Timurnya itu kekuasaan Belanda," kata Tjin Eng.
Pada tahun itu, kemudian VOC mengizinkan warga sekitar Benteng untuk membuka lahan pertanian di sekitar perairan Sungai Cisadane. "Kesempatan itu juga dimanfaatkan warga peranakan yang pandai bertani, untuk mendiami lahan di sekitar Benteng. Begitulah kemudian sebutan Cina Benteng melekat pada peranakan Tionghoa di Tangerang, sampai hari ini," kata Pria yang akrab disapa Engkong.
Berdasarkan catatan pada kitab Sunda Tina Layang Parahyang, Sebenarnya jauh sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, sesepuh pengurus Klenteng Boen Tek Bio Pasar Lama Tangerang ini menerangkan, muasal kehadiran etnis Tionghoa mendiami tanah Pasundan-Banten-Tangerang.
Waktu itu, tepatnya tahun 1407 bersandar perahu Junk, di bawah pimpinan Chen Ci Lung ke muara Sungai Cisadane, di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Perahu itu diisi sekitar 100 orang Tiongkok, termasuk di antaranya sejumlah wanita China asli yang cantik.
Sementara kawasan Teluknaga, di bawah kerajaan Pajajaran yang dipimpin Sanghyang Anggalarang meminta 9 gadis Tiongkok cantik di antara rombongan Chen Ci Lung untuk dinikahi para prajurit kerajaan.
"Sanghyang menawarkan untuk mempersunting wanita-wanita asal Tiongkok ini dengan kompensasi sebidang tanah dari wilayah kekuasaannya. Begitu juga dengan pria Tiongkok yang juga menikahi penduduk asli setempat. Hasil dari pernikahan itu disebut dengan peranakan Tionghoa dan cikal bakal Cina Benteng," lanjut Engkong.
Seiring waktu, Benteng kokoh yang pernah menjadi saksi bisu kekuasaan Pemerintahan Belanda dan kejayaan ekonomi perairan warga Cina Benteng Tangerang, saat ini sudah tidak ada lagi, Benteng itu berubah menjadi sebuah pusat perbelanjaan berkelas di Tangerang, dengan sebutan Pasar Lama.
"Jadi tidak ada bukti otentik lagi soal Benteng Makasar, sudah terkikis karena abrasi," ungkap dia.
Saat ini, tinggal tiga bangunan Klenteng, Boen Tek Bio (pasar lama), Boen Hay Bio (pasar baru), dan Boen San Bio (Serpong), yang masih tersisa sebagai bukti eksistensi keberadaan peranakan Tionghoa di Tangerang.
"Cina Benteng itu di sini, (peranakan China Pasar Lama), karena sebutan Benteng itu memang dulu ada Benteng di sini, kemudian ada yang mendiami Sewan, Cisoka, Serpong dan lainya memang bagian Peranakan Cina yang asalnya dari Teluknaga juga," ujar Engkong.
Seiring waktu dan perkembangan kemajuan zaman, pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya menjadi ciri Pecinan Benteng Tangerang juga mengalami perubahan. Bisa dipastikan, tidak ada lagi warga Pecinan Benteng yang menggantungkan hidup sebagai petani dan nelayan.
"Peranakan yang tinggal di Teluk Naga, memang masih ada yang melaut atau nelayan, karena memang dekat laut. Tapi yang di sini (pasar lama) Sungai Cisadane, lama sudah tidak dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi generasi sekarang, mereka lebih memilih kerja di kantoran," ujar Tjin Eng.
Secara sosial dan agama, warga Cina Benteng dan masyarakat Pribumi asli Tangerang, hidup berdampingan. Keharmonisan sesama antar suku, etnis, agama, budaya, dan seni menjadi satu.
"Terlihat dari kerukunan agama yang terjalin, keserasian dalam bertetangga dan kerja sama saling menguntungkan tercipta sejak ratusan tahun lalu," ucap dia.
Beberapa Cina Benteng, kata Engkong juga telah berpindah keyakinan dengan memeluk agama lain seperti Islam, Hindu, Buddha dan Kristen. Meski tetap tidak meninggalkan tradisi nenek moyang dengan teguh menjaga tradisi dan kebudayaan leluhur.
"Agama sudah berganti, tetap saja dia tidak melupakan tradisi lama. Seperti dalam perayaan Imlek dan lainnya. Itu pasti mereka lakukan. Jadi kalau perayaan kebudayaan seperti Imlek itu hanya oleh agama Konghucu. Kalau pemeluk agam Islam, Kristen dan lainnya itu hanya kebudayaan leluhur," kata dia.
Tjin Eng juga menerangkan, akulturasi budaya Nusantara kental terhadap masyarakat Ciben.
"Cina Benteng ini kental terhadap akulturasi budaya, bahasa Ibunya itu ada Sunda, itu sangat kental. Ada Bahasa Tionghoa, Jawa, Betawi dan Makassar. Misalnya lontong Cap Go Meh, tidak ada orang Jawa itu bikin lontong, itu (lontong) dibuat oleh Nyai, jadi Nyai itu yang mengenalkan Lontong Cap Go Meh, misal ada pesta, itu ada Ancak, di pendaringan ada sajian ayam bekakak, kopi hitam, kopi manis, kue-kue, lisong, itukan budaya lokal yang asli lahir dari percampuran Tionghoa dan Nusantara," ucapnya.