
Raqan itu saat ini masih sedang uji dan konsultasi publik untuk menyerap berbagai masukan untuk menyempurnakannya.
DPRA telah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Kamis (1/8). Diikuti oleh perwakilan Pemerintah Kabupaten/Kota, unsur Ulama, tokoh perempuan dan para pihak terkait lainnya.
Ketua DPRA, Muhammad Sulaiman mengatakan, dasar hukum penyusunan Raqan Hukum Keluarga ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
"Aceh tidak dapat dipisahkan dengan syariat Islam," kata Muhammad Sulaiman.
Sulaiman berdalih, ada sejumlah aturan yang tidak terakomodir dalam regulasi nasional akan dimasukkan dalam Raqan tersebut. Seperti mengatur, membina, menjamin hak-hak dan menyelesaikan berbagai persoalan keluarga secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Rujukan lainnya, politisi Partai Aceh ini mengungkapkan, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, ketentuan lebih lanjut mengenai Pernikahan, Pemutusan Hubungan Pernikahan, dan Warisan (mawaris) dapat diatur dalam Raqan Hukum Keluarga itu.
"Karena itu Pemerintah Aceh merasa perlu membentuk Qanun Aceh Tentang Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyah) ini, untuk menjamin perlindungan hak bagi suami, istri, dan anak dalam keluarga," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPRA, Gufron mengatakan, selama ini publik salah persepsi menilai Raqan Hukum Keluarga yang merupakan usulan dari eksekutif. Terutama ada bab yang mengatur tentang poligami dan menikah di bawah tangan (siri).
Padahal dalam Raqan tersebut, memiliki aturan ketat yang harus dilakukan. Selain itu, Raqan ini justru memberikan perlindungan kepada anak dan juga istri.
"Lebih dari satu istri harus melalui Mahkamah Syariyah. Jadi jangan salah diartikan," ujar Ghufran.
Dia menambahkan, untuk pernikahan siri yang selama ini sudah terjadi, akan dijadikan pelanggaran dan mendapatkan sanksi yang berat. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8, yaitu siapa pun yang terlibat dalam pernikahan dan tidak tercatat, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 187.
Dalam BAB XXV tentang aturan sanksi Raqan tersebut, pasal 187 disebutkan pada pasal 1, 'setiap orang yang melanggar ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 dikenakan sanksi denda paling rendah 20 gram emas murni 24 karat dan paling tinggi 100 gram emas murni 24 karat atau hukuman cambuk serendah-rendanya 13 kali cambuk dan setinggi-tingginya 25 kali cambuk'.
Sedangkan pasal 8 ayat 2 berbunyi, 'pelaksanaan pernikahan dan pencatatan pernikahan dilarang dilakukan oleh orang yang tidak berwewenang, termasuk qadhi liar'.
"Timbulnya Raqan Hukum Keluarga untuk memberikan ketertiban dalam memenuhi hak istri dan perlindungan anak yang lebih baik. Dari semua pasal yang ada dalam Qanun Keluarga, merupakan filosofi dan semangat untuk ketahanan rumah tangga di Aceh," jelas Ghufran.
Ghufran berharap, dengan adanya Raqan Hukum Keluarga. Kedepan tidak ada lagi pernikahan liar. Jika pun kedapatan, maka pernikahan liar itu akan dikenakan sanksi.
"Untuk itu kita berharap praktik pernikahan yang tak ketahui, tidak aka ada lagi di Aceh," tutupnya.