
"Di sini ada 7 jenis lumba-lumba dan memang wisata lumba-lumba alami. Di sini memang rumahnya dari zaman dulu," kata Gede Putra saat dihubungi via telepon, Kamis (18/7).
Dia menyebut munculnya gerombolan lumba-lumba ini menarik wisatawan lokal maupun mancanegara datang ke Pantai Lovina. Lumba-lumba tersebut juga sudah terbiasa dengan kedatangan manusia. Sehingga, kata Putra, kedatangan para turis tidak membuat lumba-lumba itu stres.
"Iya tidak (Stress), itu sudah terbiasa dari dulu. Karena kita tidak menggangu kita lihat pertunjukan saja saat dia lompat," ujarnya.
Para wisatawan bisa menikmati aksi lumba-lumba di Pantai Lovina pada pukul 06.00 WITA. Putra menuturkan, wisatawan bisa menyewa perahu jukung dengan tarif Rp 100 ribu per orang untuk wisatawan lokal. Sedangkan, wisatawan asing harus merogoh kocek 25-30 USD per orang.
"Biasanya, di arel pantai Lovina saja. (Jaraknya) kadang dekat, kadang jauh sekitar 3 kilometer sampai 7 kilometer. Kadang kalau dekat 10 menit pun sudah sampai. Tidak mesti, kadang juga jauh," tutur Putra.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Balai KSDA Bali mengatakan Pantai Lovina memang menjadi habitat gerombolan lumba-lumba tersebut.
"Lovina itu salah satu memang habitatnya. Wilayah perairan menjadi jalur migrasi lumba-lumba ini. Lumba-lumba ini bergerak dari perairan timur seperti Nusa Tenggara, Australia, Sulawesi dan utara Bali untuk ke wilayah barat (Laut Jawa)," ujarnya.
"Jadi selama ini, memang jalur transit dan dia memang intens. Karena ini merupakan salah satu pertemuan arus. Jadi arus hangat dan dingin. Ini yang disukai lumba-lumba," tambahnya.
Budhi juga menerangkan, kawanan lumba-lumba itu bermigrasi sepanjang tahun dalam kelompok besar. "Jadi kalau perilaku lumba-lumba ini selalu bergerak sepanjang tahun. Dia tak akan diam di satu tempat. Selama jalur perairan nyaman dari gangguan dan sebagainya dia akan memanfaatkan jalur tersebut," ujarnya.
Saat ini, pihaknya sedang mengurus pembuatan dokumen Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP-3-K) atau penetapan ruang untuk mengatur aktivitas pariwisata di wilayah itu.
"Ini bagian strategi untuk melindungi zona perairan mana yang dijadikan wisata bahari dan perairan yang dilindungi. Kami bicara satwa tentu tentang ketersediaan habitat dan bagaimana memastikan habitat tak terganggu. Kalau secara kebijakannya maka perlu pengaturan ruang. Ini menjadi area-area yang memang diperuntukan untuk satwa-satwa tertentu," ujarnya.