
Sepanjang tahun 2018 luas tutupan hutan di Aceh hilang mencapai 15.071 hektar, sedangkan tahun 2017 luas tutupan yang menyusut seluas 17.820 hektar.
Luas tutupan hutan di Aceh yang tersisa sekarang 3.004.352 hektar. Setiap tahunnya terus mengalami penyusutan, meskipun tahun 2018 laju kerusakan mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun kerusakan hutan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Aceh sekarang untuk terus menekan angka penghancuran lingkungan.
Empat tahun terakhir, laju kerusakan tertinggi pada tahun 2016 seluas 21.060 hektar dan tahun 2015 menyusut tutupan hutan seluas 21.056 hektar. Total penyusutan hutan kurun waktu empat tahun terakhir seluas 75.007 hektar atau hampir dua kali luas Jakarta Pusat.
GIS Manager Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya mengatakan, bila dibandingkan tahun 2017-2018 laju kerusakan hutan di Aceh menurun. Namun laju kerusakan masih terus terjadi di Serambi Makkah.
Kata Agung, data ini diperoleh menggunakan Citra Satelit Lansat 8, Sentil 2, Planet dan Google Earth. Hasil kerusakan masih terus terjadi setiap bulannya akibat pembalakan liar dan alih fungsi hutan.
"Kerusakan hutan semakin tak terbendung, berdasarkan data yang kita peroleh menggunakan citra satelit dan turun ke lokasi langsung," kata Agung Dwinurcahya, beberapa waktu lalu di Banda Aceh.
Kabupaten Aceh Tengah penyumbang terbesar terjadi penyusutan tutupan hutan tahun 2018 mencapai 1.924 hektar. Lalu disusul Aceh Utara 1.851 hektar, Gayo Lues 1.494 hektar dan Nagan Raya 1.261 hektar.
Bila dibandingkan tahun 2017, daerah yang paling tinggi mengalami kerusakan hutan adalah Kabupaten Aceh Utara seluas 2.480 hektar, disusul Aceh Tengah 1.894 hektar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) luas Aceh 5.677.081 hektar. Dari jumlah itu luas hutan di Aceh mencapai 53 persen dari total daratan. Sisa tutupan hutan saat ini di Tanah Rencong seluas 3.004.352 hektar.
Hutan lindung juga bernasib sama, mengalami penyusutan. Dalam RTWR Aceh hutan lindung seluas 1,790,200 hektar sebagaimana. Pada tahun 2017 kawasan hutan lindung menyusut menjadi 1.621.290 hektar.
Penyusutan hutan lindung terus terjadi di Aceh. Pada tahun 2018 kembali menyusut seluas 3.577 hektar. Sisa hutan lindung sekarang hanya 1.617.713 hektar. Sedangkan kawasan lain tertinggi kedua mengalami kerusakan hutan berada di hutan produksi seluas 2,728 hektar.
"Kawasan hutan lindung tertinggi laju kerusakan tahun 2018 ini," jelasnya.
Kondisi yang sama juga terjadi dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh mengalami kerusakan. Angka kerusakan pada tahun 2018 adalah sebesar 5.685 Ha.
Jika dihitung berdasarkan kabupaten yang berada dalam KEL, Gayo Lues mengalami kerusakan terparah seluas 1.063 hektar, disusul Nagan Raya (889 Ha) dan Aceh Timur (863 Ha). Tutupan hutan di KEL Aceh hingga bulan Desember 2018 tersisa 1.799.715 hektar lagi.
Kata Agung, berdasarkan pemantauan menggunakan citra satelit dan dibantu dengan deteksi otomatis GLAD Alerts dari Global Forest Watch (GFW). Sejak tahun 2016 angka deforestasi di KEL Aceh terus menurun tiap tahunnya.
Angka deforestasi di KEL Aceh pada tahun 2016 sebesar 10.348 hektar, 2017 sebesar 7.066 hektar dan 2018 sebesar 5.685 hektar. Sementara di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) laju deforestasi tahun 2016 sebesar 460 hektar, tahun 2017 sebesar 624 hektar dan tahun 2018 sebesar 807 hektar.
Pembalakan liar dan alih fungsi hutan Aceh menjadi pemicu terjadi penyusutan hutan di Aceh, termasuk di KEL. Faktanya seperti temuan Forum Konservasi Leuser (FKL) berdasarkan monitoring ke lokasi selama tahun 2018.
Sepanjang tahun 2018 FKL berhasil menghentikan 70 orang pembalak liar dan menemukan 160 camp tempat tinggal. Ini membuktikan masih banyak pembalakan liar yang beroperasi di hutan Aceh yang mengakibatkan hutan terus menyusut.
Pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 2.418 kasus pembalakan liar atau setara dengan 4.353,81 m kayu berbagai jenis. Ada 1.838 kasus perambahan, diperkirakan luas mencapai 7.546,3 hektar, dan 108 kasus pembukaan akses jalan dengan panjang 193.85 kilometer.
Kabupaten tertinggi kasus pembalakan liar adalah Aceh Selatan (473 kasus) diikuti oleh Aceh Timur (437 kasus) dan Aceh Tamiang (377 kasus). Sedangkan kabupaten tertinggi kasus perambahan hutan berada di Aceh Timur (378 kasus) diikuti oleh Gayo Lues (326 kasus) dan Aceh Tenggara (316 kasus).
Menurut Koordinator Monitoring FKL, T Pahlevie, pelaku perambahan hutan di Aceh dilakukan oleh orang-orang berpengaruh dan elit politik. Mirisnya, perambahan dan pembalakan liar ada yang menggunakan alat berat dan membangun camp tempat tinggal pelaku.
Camp yang ditemukan, sebutnya sebagiannya langsung dimusnahkan oleh tim monitoring, agar tidak lagi dipergunakan untuk merambah hutan. Kondsi ini tentunya semakin mengkhawatirkan bila tidak segera dicegah dan pelakunya harus diseret ke pengadilan agar ada efek jera.
"Yang bermain perambahan hutan itu orang-orang besar," tutup T Palevie.