
"Lubang korona yang teramati saat ini diperkirakan hanya memicu badai geomagnet kelas G0-G1. G0 bermakna tidak ada badai, G1 badai lemah, dan seterusnya sampai G5 badai ekstrim. G5 jarang terjadi, terakhir tahun 2003," ujar Rhorom, saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Jumat, 15 Maret 2019.
"Pemburu aurora diminta bersiap, sementara pengguna sinyal tidak perlu khawatir".
Aurora merupakan lampu kutub yang memiliki tampilan alami cahaya di langit Bumi, dan biasanya terlihat di daerah lintang tinggi (sekitar yang Arktik dan Antartika). Menurut Rhorom, fenomena tersebut tidak terjadi di Indonesia.
"Aurora diperkirakan dapat terbentuk di dekat kutub seperti di Skandinavia, Kanada. Sayangnya, aurora tidak pernah bisa dilihat di Indonesia. Lokasi paling dekat dari Indonesia untuk melihat aurora adalah Pulau Tasmania, Australia," kata Rhorom.
Rhorom juga menjelaskan bagaimana proses terbentuknya aurora. Menurutnya peningkatan intensitas angin surya berarti peningkatan jumlah partikel bermuatan dari matahari yang dapat masuk ke Bumi. Masuknya partikel itu harus melewati jalur yang tepat, yakni mengikuti garis-garis medan magnet Bumi yang mengerucut di kutub-kutub Bumi.
"Ibarat corong, daerah dekat kutub Bumi adalah tempat terbaik masuknya partikel tadi. Ketika partikel bermuatan berinteraksi dengan atmosfer Bumi, maka terjadi ionisasi dan pendaran aurora pun muncul," tutur Rhorom. "Seperti halnya lampu neon yang berpendar karena ada arus listrik".
Menurut Rhorom, peningkatan intensitas angin surya mungkin terjadi, tapi tidak meningkat tajam. Bukan kasus ekstrim yang mengganggu sinyal dan membahayakan manusia dengan beragam aktivitasnya.
"Beberapa hari terakhir memang ada lubang korona yang mengarah ke Bumi. Lubang ini menjadi sumber angin surya berkecepatan tinggi, yakni aliran partikel bermuatan dari matahari," kata Rhorom. "Partikel ini tidak mudah mencapai muka Bumi karena ada medan magnet yang membelokkannya. Sebagian partikel dapat masuk dan membentuk aurora di dekat kutub".